Judul Buku : Novelis Sebagai Panggilan Hidup
Penulis : Haruki Murakami
Penerjemah : Ribeka Ota
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit : 2025
Jumlah Halaman : 249
Sekilas tentang Novelis Sebagai Panggilan Hidup
Jika kamu berharap menemukan panduan menulis praktis ala seorang penulis ulung di Novelis Sebagai Panggilan Hidup, kamu mungkin akan sedikit kecewa. Buku ini bukan kumpulan tip dan trik jitu menulis, saya lebih setuju menyebutnya sebagai buku yang memuat refleksi mendalam perjalanan seorang novelis dalam memandang profesinya. Dalam karya ini, Murakami berbagi perjalanan hidup serta cara berpikirnya. Namun, justru di situlah letak daya tariknya.
Sebelumnya, karya-karya Murakami seperti Kafka on the Shore, Norwegian Wood, dan Men Without Women sudah lebih dulu mendapat tempat di hati pembaca Indonesia. Pada Januari 2025, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) merilis edisi terjemahan Novelist as A Vocation ke Bahasa Indonesia dengan judul Novelis Sebagai Panggilan Hidup. Cetakan pertama buku karya penulis kenamaan dunia ini memiliki sampul perpaduan warna Biru dan Putih yang lembut.
Bicara soal teknis, terjemahan Ribeka Ota terasa mengalir dan nyaman dibaca. Meskipun saya tidak bisa membandingkan dengan versi original, saya merasa alur pemikiran Murakami tersampaikan dengan baik. Bahkan saat membacanya di malam hari setelah lelah bekerja, saya masih bisa menikmati setiap paragraf tanpa merasa terbebani oleh bahasa yang terlalu berat.
Buku ini terdiri dari 12 bab, dengan beberapa judul menarik seperti "Ketika Aku Menjadi Novelis," "Nah, Apa yang Sebaiknya Kutulis?," dan "Untuk Siapa Aku Menulis?". Saya menyelesaikan buku ini dalam satu minggu, dan setiap bab memberikan perspektif baru tentang bagaimana Murakami memahami dunia kepenulisan. Kelihaian Murakami sebagai pesulap kalimat memang tidak perlu diragukan. Dalam Novelis Sebagai panggilan Hidup, pembaca akan banyak sekali menemukan perumpamaan-perumpamaan menarik seperti musik jazz, membangun gedung, dan sebagainya. Saya rasa, disamping isinya daging semua, gaya bercerita ini ikut berperan menjadikan buku ini tidak membosankan.
Lantas, buku ini sebenarnya membahas apa?
Bukan Panduan Menulis, tapi Ramah untuk Pemula
Salah satu bagian yang langsung menarik perhatian saya adalah Bab 2: Ketika Aku Menjadi Novelis. Bab ini dibuka dengan pernyataan Murakami yang cukup mengejutkan:
"Aku mulai menulis di usia 30."
Kalimat ini barangkali terdengar sederhana, tetapi bagi banyak calon penulis maupun penuis pemula, ini adalah angin segar; pengingat bahwa tidak ada kata terlambat untuk memulai. Dari sini, Murakami mengajak pembaca menyelami kisah awal perjalanan menulisnya. Paragraf-paragraf panjang berikutnya menjelaskan alasan mengapa ia mulai menulis, novel pertama yang ia selesaikan, apa yang akhirnya terjadi pada novel tersebut, hingga bagaimana reaksi dan emosi yang dia rasakan terhadap karyanya sendiri dari waktu ke waktu.
Sebagai pembaca yang tumbuh bersama banyak novel fiksi, saya selalu penasaran dengan latar belakang para penulis. Apakah mereka menjalani hidup yang cenderung penuh tantangan dan duka? Atau justru hidup mereka dipenuhi keajaiban? Atau mungkin kehidupan para penulis itu justru datar saja? Lantas, bagaimana mereka bisa menciptakan kisah-kisah magis dari kehidupan yang "mungkin" biasa saja itu?
Buku ini memberikan sedikit jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Murakami membuka dirinya dengan kejujuran yang patut diapresiasi. Lebih dari sekadar lika-liku perjalanan karir, penyuka musik Jaz ini bermurah hati membeberkan bagaimana proses dia menemukan gaya berceritanya sendiri, serta bagaimana ia menyunting naskah hingga akhirnya siap diterbitkan.
Pada Bab 6: Menulis Cerita yang Panjang, Murakami membahas proses kreatifnya dalam menyelesaikan novel. Menariknya, ia tidak menggunakan metode yang kaku atau aturan baku. Ia percaya bahwa menulis adalah perjalanan yang terus berkembang, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan terus melakukannya.
Hal inilah yang membuat buku ini ramah bagi pemula. Murakami tidak menggurui, tidak mengatakan bahwa ada cara benar atau salah dalam menulis. Sebaliknya, ia justru berkali-kali menegaskan bahwa setiap penulis memiliki jalan yang mungkin berbeda. Yang terpenting adalah mulai menulis karya dengan kualitas semaksimal kemampuan kita pada saat itu, kemudian membiarkan proses membentuk kita seiring waktu. Di salah satu halaman, Murakami berkata bahwa menjadi penulis itu serupa dengan naik ke ring tinju. Siapa pun bisa naik. Tapi sejauh apa seseorang bisa bertahan di dalam sana? Itulah bagian tersulitnya.
Menyelami Kejujuran Haruki Murakami Lebih Jauh
Salah satu aspek yang paling saya nikmati dari buku ini adalah kejujuran Murakami. Ia tidak berusaha menciptakan citra penulis ideal atau seniman jenius yang tak tersentuh. Sebaliknya, ia tampak mencoba berbicara apa adanya, termasuk tentang hal-hal yang mungkin membuat pembaca mengernyitkan dahi.
Dengan kesadaran penuh, sebaiknya pembaca mengosongkan gelas terlebih dahulu sebelum nulai membaca, mengingat buku ini lebih menggunakan pendekatan personal penulis. Adakalanya saya akan mengangguk setuju, jengkel, bahkan di beberapa bagian merasa penulisnya melakukan pembelaan diri.
Misalnya, dalam salah satu bagian, Murakami menyatakan bahwa ia belum pernah mengalami writers block; suatu titik saat penulis menemui kebuntuan ide. Apa dan mengapa hal tersebut terjadi rupanya juga sangat menarik.
Pernyataan ini tentu saja bisa mengundang banyak protes. Bagaimana mungkin seorang penulis yang telah berkarya selama puluhan tahun tidak pernah kehabisan ide? Bukankah hampir semua penulis di dunia mengalami kemacetan ide kreatif di satu titik?
Jika terus membaca hingga bab-bab berikutnya, saya pada akhirnya mengangguk setuju; maksudnya, masuk akal mengapa Murakami bisa berkata demikian. Proses kreatif Murakami ternyata melibatkan konsistensi dalam aktivitas sehari-hari serta kesadarannya dalam menjaga keseimbangan kesehatan fisik dan spiritual.
Sedikit bocoran, Murakami memiliki rutinitas yang ketat: bangun pagi, menulis selama beberapa jam, lalu berlari atau berenang untuk menjaga tubuh tetap bugar. Ia juga sangat disiplin dalam mengatur waktu dan lingkungan kerja. Dengan gaya hidup yang terstruktur seperti ini, kecil kemungkinan ia mengalami kebuntuan ide yang berkepanjangan. Apa dan bagaimana lebih jelasnya proses ini beliau lakukan, bisa kamu temukan dalam buku.
Tentu, ini bukan berarti bahwa setiap penulis harus meniru rutinitas Murakami agar bisa terbebas dari writers block. Namun, buku ini mengajak kita berpikir ulang: mungkin kebuntuan ide bukan hanya soal kreativitas, tetapi juga soal disiplin dan keseimbangan hidup.
Kesimpulan
Siapa yang akan menikmati buku ini?
Buku ini bisa dinikmati oleh berbagai kalangan, tetapi beberapa kelompok pembaca yang paling cocok membacanya menurut saya adalah:
📖 Calon penulis yang mencari motivasi, kejujuran dan motivasi-motivasi Murakami dalam buku ini bisa jadi bacaan yang menenangkan bagi mereka yang baru memulai.
📖 Penggemar karya-karya Murakami yang ingin lebih mengenal beliau. Terlebih, jika kalian menyukai karya Murakami berjudul 'What I Talk About When I Talk About Running'.
📖 Kamu yang tertarik pada proses kreatif seorang penulis. Bagi pembaca yang ingin tahu lebih dalam tentang perjalanan seorang novelis, buku ini adalah bacaan yang berharga.
Jadi, bagaimana pendapatmu tentang cara Haruki Murakami memahami profesinya sebagai novelis? Apakah kamu setuju dengan pandangannya tentang writers block?
Yuk, diskusi di kolom komentar! Jangan lupa juga bagikan artikel ini ke teman-teman pecinta buku lainnya. 📚
0 Komentar
Tambahkan Komentar